KERIS
Snopsis
Disusun guna
memenuhi tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu: Maftukhah, M.SI
Disusun oleh:
Eka Yuli Indra Pratiwi (123311046)
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Diantara berbagai senjata
dipulau jawa, yang dipakai oleh beberapa orang bangsawan dan orang kecil
sekalipun salah satunya kerislah yang dipandang penting karena besar
khasiatnya. Oleh sebab itu berbagai pengetahuan tentang keris tentu akan
menjadi kebanggaan oleh bangsa kita suku jawa dan bangsa indonesia pada
umumnya. Senjata yang yang bernama keris merupakan hasil karya budaya bangsa
jawa yang asli .
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa pengertian keris?
B.
Bagaimana sejarah tentang keris?
C.
Apa saja bagian-bagian dari keris?
D.
Apa saja macam-macam keris?
E.
Apa fugsi keris?
F.
Apa makna filosofi dari keris
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian keris
Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal
di kawasan Nusantara
bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam
lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, seringkali
bilahnya berkelok-kelok, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene),
yaitu terlihat serat-serat lapisan logam cerah pada helai bilah. Jenis senjata
tikam yang memiliki kemiripan dengan keris adalah badik. Senjata tikam lain
asli Nusantara adalah kerambit. Pada masa lalu keris berfungsi sebagai
senjata dalam duel/peperangan,sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Pada
penggunaan masa kini, keris lebih merupakan benda aksesori (ageman) dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi
benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.(Darmosoegito, Ki.1989:16)
Keris juga merupakan senjata tradisionaal nusantara yang juga berfungsi
sebagai jati diri yang dikenakan pada upacara-upacara besar tertentu.( Prasida Wibawa.
2008:69)
B. Sejarah keris
Keris
dan tosan aji serta senjata tradisional lainnya menjadi khasanah budaya
Indonesia, tentunya setelah nenek moyang kita mengenal besi. Berbagai bangunan
candi batu yang dibangun pada zaman sebelum abad ke-10 membuktikan bahwa bangsa
Indonesia pada waktu itu telah mengenal peralatan besi yang cukup bagus,
sehingga mereka dapat menciptakan karya seni pahat yang bernilai tinggi. Gambar timbul (relief) paling
kuno yang memperlihatkan peralatan besi terdapat pada prasasti batu yang
ditemukan di Desa Dakuwu, di daerah Grabag, Magelang, Jawa Tengah. Melihat
bentuk tulisannya, diperkirakan prasasti tersebut dibuat pada sekitar
tahun 500 Masehi. Huruf yang digunakan, huruf Pallawa. Bahasa yang dipakai
adalah bahasa Sanskerta.
Prasasti
itu menyebutkan tentang adanya sebuah mata air yang bersih dan jernih. Di atas
tulisan prasasti itu ada beberapa gambar, di antaranya: trisula, kapak, sabit
kudi, dan belati atau pisau yang bentuknya amat mirip dengan keris buatan Nyi
Sombro, seorang empu wanita dari zaman Pajajaran.
G.B. GARDNER pada tahun 1936
pernah berteori bahwa keris adalah perkembangan bentuk dari senjata tikam zaman
prasejarah, yaitu tulang ekor atau sengat ikan pari dihilangkan pangkalnya,
kemudian dibalut dengan kain pada tangkainya,Sementara itu GRIFFITH WILKENS
pada tahun 1937 berpendapat bahwa budaya keris baru timbul pada abad ke-14 dan
15. Katanya, bentuk keris merupakan
pertumbuhan dari bentuk tombak yang banyak digunakan oleh bangsa-bangsa yang
mendiami kepulauan antara Asia dan Australia. (Bambang Harsrinuksmo.2003a:23)
Dari mata lembing itulah kelak timbul jenis senjata pendek
atau senjata tikam, yang kemudian dikenal dengan nama keris. A.J. BARNET KEMPERS. Pada tahun 1954 ahli
purbakala itu menduga bentuk prototipe keris merupakan perkembangan bentuk dari
senjata penusuk pada zaman perunggu. Keris yang hulunya berbentuk patung kecil
yang menggambarkan manusia dan menyatu dengan bilahnya,
Ada sebgian ahli bangsa Barat yang tidak yakin bahwa keris
sudah dibuat di Indonesia sebelum abad ke-14 atau 15. Mereka mendasarkan
teorinya pada kenyataan bahwa tidak ada gambar yang jelas pada relief
candi-candi yang dibangun sebelum abad ke-10. SIR THOMAS STAMFORD RAFFLES dalam
bukunya History of Java (1817) mengatakan, tidak kurang dari 30 jenis
senjata yang dimiliki dan digunakan prajurit Jawa waktu itu, termasuk juga
senjata api. Tetapi dari aneka ragam senjata itu, keris menempati kedudukan
yang istimewa.
Disebutkan dalam bukunya itu, prajurit Jawa pada umumnya
menyandang tiga buah keris sekaligus. Keris yang dikenakan di pinggang sebelah
kiri, berasal dari pemberian mertua waktu pernikahan (dalam budaya Jawa disebut
kancing gelung). Keris yang dikenakan di pinggang kanan, berasal dari
pemberian orang tuanya sendiri. Selain itu berbagai tata cara dan etika dalam
dunia perkerisan juga termuat dalam buku Raffles itu. Sayangnya dalam buku yang
terkenal itu, penguasa Inggris itu tidak menyebut-nyebut tentang sejarah dan
asal usul budaya keris.
Sementara itu istilah ‘keris’ sudah dijumpai pada beberapa
prasasti kuno. Lempengan perunggu bertulis yang ditemukan di Karangtengah,
berangka tahun 748 Saka, atau 842 Masehi, menyebut-nyebut beberapa jenis sesaji
untuk menetapkan Poh sebagai daerah bebas pajak, sesaji itu antara lain berupa ‘kres’,
wangkiul, tewek punukan, wesi penghatap. Kres yang dimaksudkan pada kedua prasasti itu adalah keris.
Sedangkan wangkiul adalah sejenis tombak, tewek punukan adalah
senjata bermata dua, semacam dwisula.
Pada lukisan gambar timbul (relief) Candi Borobudur, Jawa
Tengah, di sudut bawah bagian tenggara, tergambar beberapa orang prajurit
membawa senjata tajam yang serupa dengan keris yang kita kenal sekarang. Di
Candi Prambanan, Jawa Tengah, juga tergambar pada reliefnya, raksasa membawa
senjata tikam yang serupa benar dengan keris. Di Candi Sewu, dekat Candi
Prambanan, juga ada. Arca raksasa penjaga, menyelipkan sebilah senjata tajam,
mirip keris.
Sementara itu edisi pertama
dan kedua yang disusun oleh Prof. P.A VAN DER LITH menyebutkan, sewaktu stupa
induk Candi Borobudur, yang dibangun tahun 875 Masehi, itu dibongkar, ditemukan
sebilah keris tua. Keris itu menyatu antara
bilah dan hulunya. Tetapi bentuk keris itu tidak serupa dengan bentuk keris
yang tergambar pada relief candi. Keris temuan ini kini tersimpan di Museum
Ethnografi, Leiden, Belanda. Keterangan mengenai keris temuan itu ditulis oleh
Dr. H.H. JUYNBOHL dalam Katalog Kerajaan (Belanda) jilid V, Tahun 1909. Di
katalog itu dikatakan, keris itu tergolong ‘keris Majapahit‘, hulunya berbentuk
patung orang, bilahnya sangat tua.(Bambang Harsrinuksmo.2003b:24)
Salah satu sisi bilah telah rusak. Keris, yang diberi nomor
seri 1834, itu adalah pemberian G.J. HEYLIGERS, sekretaris kantor Residen Kedu,
pada bulan Oktober 1845. Yang menjadi residennya pada waktu itu adalah Hartman.
Ukuran panjang bilah keris temuan itu 28.3 cm, panjang hulunya 20,2 cm, dan
lebarnya 4,8 cm. Bentuknya lurus, tidak memakai luk. Mengenai
keris ini, banyak yang menyangsikan apakah sejak awalnya memang telah
diletakkan di tengah lubang stupa induk Candi Borobudur. Barnet Kempres sendiri
menduga keris itu diletakkan oleh seseorang pada masa-masa kemudian, jauh hari
setelah Candi Borobudur selesai dibangun. Jadi bukan pada waktu pembangunannya.
Ada pula yang menduga, budaya keris sudah berkembang sejak
menjelang tahun 1.000 Masehi. Pendapat ini didasarkan atas laporan seeorang
musafir Cina pada tahun 922 Masehi. Jadi laporan itu dibuat kira-kira zaman
Kahuripan berkembang di tepian Kali Brantas, Jawa Timur. Menurut laporan itu,
ada seseorang Maharaja Jawa menghadiahkan kepada Kaisar Tiongkok "a
short swords with hilts of rhinoceros horn or gold (pedang pendek dengan
hulu terbuat dari dari cula badak atau emas). Bisa jadi pedang pendek yang
dimaksuddalam laporan itu adalah protoptipe keris seperti yang tergambar pada
relief Candi Borobudur dan Prambanan.
Sebilah keris yang ditandai dengan angka tahun pada
bilahnya, dimiliki oleh seorang Belanda bernama Knaud di Batavia (pada zaman
Belanda dulu). Pada bilah keris itu selain terdapat gamabar timbul wayang, juga
berangka tahun Saka 1264, atau 1324 Masehi. Jadi kira-kira sezaman dengan saat
pembangunan Candi Penataran di dekat kota Blitar, Jawa Timur. Pada candi ini
memang terdapat patung raksasa Kala yang menyandang keris pendek lurus.Gambar
yang jelas mengenai keris dijumpai pada sebuah patung siwa yang berasal dari
zaman Kerajaan Singasari, pada abad ke-14. Digambarkan dengan Dewa Siwa sedang
memegang keris panjang di tangan kanannya. Jelasini bukan tiruan patung Dewa
Siwa dari India, karena di India tak pernah ditemui adanya patung Siwa memegang
keris. Patung itu kini tersimpan di Museum Leiden, Belanda.
Pada zaman-zaman berikutnya, makin banyak candi yang
dibangun di Jawa Timur, yang memiliki gambaran keris pada dinding reliefnya.
Misalnya pada Candi Jago atau Candi Jajagu, yang dibangun tahun 1268 Masehi. Di
candi itu terdapat relief yang menggambarkan Pandawa (tokoh wayang) sedang bermain
dadu. Punakawan yang terlukis di belakangnya digambarkan sedang membawa keris.
Begitu pula pada candi yang terdapat di Tegalwangi, Pare, dekat Kediri, dan
Candi Panataran. Pada kedua candi itu tergambar relief tokoh-tokoh yang
memegang keris. Cerita mengenai keris yang lebih jelas dapat dibaca dari
laporan seorang musafir Cina bernama Ma Huan. Dalam laporannya Yingyai
Sheng-lan di tahun 1416 Masehi ia menuliskan pengalamannya sewaktu
mengunjungi Kerajaan Majapahit.
Ketika itu ia datang bersama rombongan Laksamana Cheng-ho
atas perintah Kaisar Yen Tsung dari dinasti Ming. Di Majapahit, Ma Huan
menyaksikan bahwa hampir semua lelaki di negeri itu memakai pulak, sejak
masih kanak-kanak, bahkan sejak berumur tiga tahun. Yang disebut pula oleh Ma
Huan adalah semacam belati lurus atau berkelok-kelok. Jelas yang dimaksud
adalah keris. Kata Ma Huan dalam laoparan itu: These daggers have very
thin stripes and within flowers and made of very best steel; the handle is of
gold, rhinoceros, or ivory, cut into the shapeof human or devil faces and
finished carefully.
Laporan ini membuktikan bahwa pada zaman itu telah dikenal
teknik pembuatan senjata tikam dengan hiasan pamor dengan gambaran garis-garis
amat tipis serta bunga-bunga keputihan. Senjata ini dibuat dengan baja berkualitas
prima. Pegangannya, atau hulunya, terbuat dari emas, cula badak, atau gading tentunya yang dimaksudkan Ma Huan dalam
laporannya adalah keris yang kita kenal sekarang ini. Gambar
timbul mengenai cara pembuatan keris, dapat disaksikan di Candi Sukuh, di
lereng Gunung Lawu, di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada candra
sengkala memet di candi itu, terbaca angka tahun 1316 Saka atau 1439
Masehi. (Bambang Harsrinuksmo.2003c: 25).
C. Bagian-bagian
keris.
Seorang ahli tosan aji telah
mempelajari keris dengan berdasarkan tiga bagian utama:
a)
Wilahan
Wilahan merupakan bagian utama keris
yang terdiri dari nagian-bagian tertentu disebut dhapur.terdapat puluhan macam
bentuk dapur, antara lain: jangkung, mayang, jaka lola, pinarak, jamang murub,
bugkul, kebo tedhan, pudhak sitegal, dll.(Singgih S. pandanaran. 2012a:124)
b)
Pegang keris
Pegang keris jawa memiliki sepuluh
titik bagian tersebut dapat ditunjuk sebagai berikut: mendhak, selut, patra,
wetengan, ukiran, bathuk, bun-bunan, sirah wingking, gigir dan bungkul.
c)
Warangka
Warangka merupakan bagian kelengkapan
keris yang mempunyai fungsi dalam kehidupan sosial masyarakat jawa. Karena
bagian ini dapat dilihat secara langsung oleh umum. Terdapat dua macam
warangka, yakni: a) warangka ladrang yang terdiri dari angkup, latar, jaggut,
gandek, gondhomg, gandar, ri serat cangkring. b) warangka gayaman yan
bagian-bagiannya hampir sama dengan warangka ladrang, namun tidak memiliki
angkup, godhong dan gandhek. (Singgih S.Pandanaran.2012b: 125)
D. Macam-macam
keris
Bermacam-macam keris, bermacam-macam pula khasiatnya bagi yang
mempunyai atau memakainya.
Menurut kepercayaan orang ada
sebagian keris yang memberikan keberanian, ada yang mendatangkan kekayaan atau
rezeki, ada yang dapat memberikan ketentraman ada yang dapat menimbulkan
amarah,ada yang mendapatkan pangkat tinggi atau dikasihi oleh pembesar, ada
yang menyebabkan dijauhi oleh pencuri,ada yang berpengaruh baik tentang
pertanian, perdagangan dan lain sebagainya. ( ki Drs. Sutardja. 2009: 53)
Keris Lurus.
contoh keris lurus: hangun-hangun, hanggrek A,
hurap-hurap jingga dll
Keris Luk 1.
contoh : Hurubing dilah, Sengkol,
Keris Luk 3.
Contoh: Naga larmonga, Carang, Motif caluring dll
Keris Luk 5.
Contoh: Motif hurap-hurap, motifnaga b, Motif
hanoman b dll
Keris Luk 7.
Contoh: motif Hantup, Motif Nagekeras dll
Keris Luk 9.
Contoh: Motif hupas b, Motif henggrek dll
Keris Luk 11.
Contoh: Motif Hudan jingga , motif hangkrok b, dll
Keris Luk 13.
Contoh: motif halap-halap, motif nagakumala dll.
Keris
Luk 15
Contoh: motif raga wilah, motif rajam dll
Keris
Luk 17
Contoh: motif hamperbuto, motif careta
kalentanb
Keris Luk 19
Contoh: motif trimuda, motif karacan dll
Keris
Luk 21
Contoh : motif kala tinagtang, motif trisira dll
Keris
Luk 25
Contoh: motif bimokrodo c
Keris Luk 27
Contoh: motif handagawirun.
Keris
Luk 27
Contoh : motif kala wenduk luk 29
(Ki Hudoyo Doyodipuro, 2004, hlm: 77-180)
E. Fungsi
keris
Dalam perkembangannya keris
mengalami pengembangan fungsi dalam konteks sistem budaya barumasyarakat
Islamnya. Peran sosial dalam konteks sistem budaya pada akhirnya lebih dominan
dibandingkan dengan fungsi teknisnya sebagai senjata tikam.(Basuki Teguh
Yuwono,2008:4)
a.
Fungsi Teknofak Keris
1.
Keris sebagai senjata.
Bentuk keris pada relief candi
penataran berbeda dengan bentuk keris yang biasa kita jumpai, hal ini
dikarenakan penyesuaian dengan perkembangan zaman. Namun corak dan gayanya
menandakan sebagai senjata tikam.
2.
Keris sebagai benda
berharga/wasiat.
b.
Fungsi Sosiofak Keris
1.
Keris sebagai Perekat Hubungan
Sosial.
2.
Keris sebagai Penanda Strata
Sosial.
Keris mewakili kedudukan dan status
personal dalam masyarakat Islam. Keris merupakan salah satu sarana menentukan
strata sosial dalam masyaraka hal ini dapat dilihat dari pemakaian/kepemilikan
keris tertentu misalnya dapur Kebo Lajer untuk petani, dapur Pasopatiuntuk
prajurit, dapur sangkelat untuk bangsawan/raja
3.
Keris sebagai Penanda Kekuasaan
(politik).
Keris memiliki peran dalam percaturan
politik kerajaan-kerajaan di Nusantara. Sumber-sumber sejarah banyak
menceritakan peranan keris dalam politis kerajaan di tanah Jawa. Misalnya PB 2
sesudah perjanjian gianti th 1756, memberikan keris kyai kopek pada mangkubumi
untuk mengakui kedaulatan kasultanan yogyakarta, salah satu syarat Mangkunegoro
menjadi raja dimangkunagaran tidak memperbolehkan membuat senjata atau memiliki
empu keris.
4.
Keris sebagai Identitas Budaya.
5.
Keris sebagai Medium Komunikasi
Keris mampu membawa muatan pesan yang
dapat ditangkap isinya dalam sistem budaya masyarakat Islam Jawa. Mengenakan
keris dengan gaya tertentu dapat dilihat aktivitasnya, misalnya mengenkan keris
dengan di semungkep berarti untuk melayat, mengenakan dengan cara nyote berarti
akan berperang
6.
Keris sebagai Karya Seni.
7.
Keris sebagai Benda Koleksi
8.
Keris sebagai Komoditas Ekonomi
c.
Fungsi Ideofak Keris
1.
Keris dan
Spiritualitas-Religiusitas
2.
Esoteri Keris
Keris menjadi medium ekspresi kesenian Keris di ciptakan atas
dasar kaidah-kaidah keindahan di mana sang empu berekspresi lewat dapur dan
pamornya.
3.
Motivasi Psikologis dalam Keris
Keris memiliki kekuatan motivasi yang
mempengaruhi perilaku. Keris merupakan sebuahaturan/ norma/angger-angger yang
tervisual, sehingga keris mampu mempengaruhiprilaku pemiliknya.
F. Makna
filosofi dari keris
Keris dalam masyarakat Jawa, sekarang
digunakan untuk pelengkap busana Jawa, keris sendiri memiliki banyak filosofi
yang masih erat dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat Jawa. Makna
filosofis yang terkandung dalam sebuah keris sebenarnya bisa dilihat mulai dari
proses pembuatan hingga menjadi sebuah pusaka bagi pemiliknya. Seiring
berjalannya waktu dan modernisasi, kita sadari bahwa perlu dilakukan
pelestarian terhadap warisan leluhur ini agar tidak terkikis akan perkembangan
jaman, keris atau dalam bahasa jawa disebut tosan aji, merupakan
penggalan dari kata tosan yang berarti besi dan aji berarti
dihormati, jadi keris merupakan perwujudan yang berupa besi dan diyakini bahwa
kandungannya mempunyai makna yang harus dihormati, bukan berarti harus
disembah-sembah tetapi selayaknya dihormati karena merupakan warisan budaya
nenek moyang kita yang bernilai tinggi
Keris Sebagai
Piyandel, Sebuah Tuntunan Hidup
Piyandel adalah sebuah keyakinan dan kepercayaan yang
termanifestasikan dalam wujud berbagai benda-benda pusaka yang mengemuka secara
fenomenal, penuh daya pikat dan sarat lambang yang harus didalami dan
dimengerti dengan baik, benar dan mendalam. Kepercayaan bukan berisi
tentang sesuatu yang pantas disembah dan dipuja, tetapi sebuah wahana yang
berwujud (wadag) yang berisi doa, harapan dan tuntunan hidup (filosofi hidup)
manusia jawa yang termaktub dalam “sangkan parang dumadi – sangkan
paraning pambudi – manunggaling kawula Gusti”. Piwulang-piweling ini
terformulasi dalam sebuah benda buatan yang disebut keris atau tombak.
Sama halnya dengan melihat wayang.
Keleluasaan pemahaman dan pengertian mengenainya tergantung luasnya cakrawala
dan pengalaman hidup orang tersebut terhadap hidup dan kehidupan.Jadi
tergantung kepada “kadhewasaning Jiwa Jawi” – kedewasaan orang
dalam berfikir dan bersikap secara arif dan bijaksana. Semakin orang itu kaya
pengalaman rohani – semakin kaya pula ia mampu menjabarkan apa yang tertera di
dalam sebilah keris.
Pada
mulanya, di saat manusia jawa ada pada peradaban berburu, keris adalah alat
berburu (baca: mencari hidup). Kemudian ketika manusia mulai menetap dan
bersosialisasi dengan sesamanya, keris menjadi alat untuk berperang (baca :mempertahankan
hidup). Lebih lanjut lagi setelah tidak lagi diperlukan perang dan manusia
mulai berbudaya, keris pun menjadi senjata kehidupan (baca: tuntunan hidup).
Yaitu senjata untuk mengasah diri menjadi orang yang lebih beradab dan
berperiperadaban hingga mencapai penyatuan diri dengan Penciptanya. Hal ini
sangat nyata ditunjukkan dalam lambang-lambang yang mengemukan pada
ricikan-ricikan keris.(koesni.
1979:108)
Ilmu
keris adalah ilmu lambang. Mengerti dan memahami bahasa lambang
mengandalkan peradaban rasa (sense) – bukan melulu
kemampuan intelektual. Jadi adalah keliru jika memahami keris secara dangkal
sebagai sebuah benda yang berkekuatan magis untuk mengangkat harkat dan
martabat manusia. Keris menjadi pusaka karena makna lambang-lambang dalam keris
dianggap mampu menuntun pembuat dan pemiliknya untuk hidup secara benar, baik
dan seimbang. Dan bagi orang jawa, hidup ini penuh pralambang yang masih
samar-samar dan perlu dicari dan diketemukan melalui berbagai laku, tirakat
maupun dalam berbagai aktivitas sehari-hari manusia jawa, misalkan dalam bentuk
makanan (tumpeng, jenang, jajan pasar,dsb), baju beskap, surjan, bentuk
bangunan (joglo, limas an, dsb) termasuk juga keris. Di dalam benda-benda
sehari-hari tersebut tersembunyi sebuah misteri berupa pesan dan piwulang serta
wewler yang diperlukan manusia untuk mengarungi hidup hingga kembali bersatu
dengan Sang Pencipta.
Dalam tradisi budaya Jawa ada sebuah
pemahaman “Bapa (wong tuwa) tapa, anak nampa, putu nemu, buyut katut,
canggah kesrambah, mareng kegandeng, uthek-uthek gantung siwur misuwur”.Jika
orang tua berlaku tirakat maka hasilnya tidak hanya dirasakan olehnya sendiri
dan anak-anaknya melainkan hingga semua keturunannya.Demikian juga
sebaliknya.Oleh karena itu manusia Jawa diajak untuk selalu hidup prihatin, hidup
“eling lan waspada”, hidup penuh laku dan berharap. Siratan-siratan
laku, tirakat, doa, harapan, cita-cita restu sekaligus tuntunan itu diwujudkan
oleh para leluhur Jawa dalam wujud sebuah senjata. Senjata bukan dilihat
sebagai melulu wadag senjata (tosan aji) melainkan dengan pemahaman supaya
manusia sadar bahwa senjata hidup dan kehidupan adalah sebuah kearifan untuk
selalu mengasah diri dalam olah hidup batin
Oleh karena itu orang Jawa menamakan keris
dengan sebutan Piyandel – sipat kandel, karena memanifestasikan
doa, harapan, cita-cita dan tuntunan lewat dapur, ricikan, pamor, besi, dan
baja yang dibuat oleh para empu dalam laku tapa, prihatin, puasa dan selalu
memuji kebesaran Tuhan. “Niat ingsun nyebar ganda arum.Tyas manis
kang mantesi, ruming wicara kang mranani, sinembuh laku utama”. Tekadku
menyebarkan keharuman nama berlandaskan hati yang pantas (positive thinking),
berbicara dengan baik, enak didengar, dan pantas dipercaya, sembari menjalankan
laku keutamaan.
Meski
demikian keris tetaplah benda mati. Manusia Jawa pun tidak terjebak dalam
pemahaman yang keliru tentang pusaka. Peringatan para leluhur tentang hal ini
berbunyi :“Janjine dudu jimat kemat, ananging agunging Gusti kang
pinuji”.Janji bukan jimat melainkan keagungan Tuhan-lah yang mesti
diluhurkan.“Nora kepengin misuwur karana peparinge leluhur, ananging
tumindak luhur karana piwulange leluhur”.Tidak ingin terkenal lantaran
warisan nenek moyang, melainkan bertindak luhur karena melaksanakan nasihat
nenek moyang. Oleh karena itu keris bukan jimat, tetapi lebih sebagai piyandel
sebagai sarana berbuat kebajikan dan memuji keagungan Ilahi. (Ronggajati Sugiyanto, 2010)
DAFTAR PUSTAKA
Darmosoegito, Ki. Bab
Dhuwung. Surabaya: Djojobojo. 1989.
Doyodipuro, Ki Hudoyo. Keris Daya Magic Manfaat Tuah Misteri. Semarang: Dahara
Prize. 1985.
Harsinuksmo, Bambang. Ensiklopedi Keris. Jakarta:
PT Gramedia Pusaka Utama. 2003.
Koesni. Pakem Pengetahuan Tentang Keris. Semarang:
CV Aneka. 1979.
Pandanaran,
Singgih S. Misteri Bumi Jawa. Yogyakarta: INAzNa Books. 2012.
Sugiyanto, Ronggajati. Keris, Fungsi dan
Filosofinya. Jakarta: PT pustaka keris
indonesia. 2010.
Sutardja. Ki Drs. Kitab
Klasik Tentang Keris. Yogyakarta: Panji Pustaka. 2009.
Wibawa, Prasida. Pesona
Tosan Aji. Jakarta: Gramedia Pusaka Utama. 2008.
Yuwono, Basuki Teguh. Sembilan Fungsi dan Peran
Keris dalam Masyarakat. Journal
item 4. 4 Januari 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar